Saturday, March 27, 2010

Earth Hour-ing

hello there..

saat ini saya dan mungkin beberapa ribu orang lainnya di Indonesia dan belahan dunia lainnya sedang bergelap-gelap ria. Why? karena kami mendukung kampanye Earth Hour dari WWF untuk mematikan listrik (minimal lampu) supaya kita bisa membiarkan bumi 'bernapas' walau hanya dalam kurun waktu 60 menit. Dan ternyata asik juga suasana bergela-gelap ria ini.. manfaatnya untuk saya adalah saya bisa lebih berkonsentrasi, hehehe..

Earth Hour.. memang kampanye semacam ini berkesan sangat 'nge-pop' mengingat sarana yang digunakan untuk mempublikasikan adalah media massa. Liat aja gimana gencarnya iklan earth hour ini di media massa. Dan dari apa yang saya perhatikan, komersial kampanye earth hour di tv hanya menekankan pada ajakan untuk mematikan lampu. Shallow memang. Untuk apa mematikan lampu? Apa manfaatnya jika kita mematikan lampu? sayangnya penjabaran dari pertanyaan-pertanyaan tadi tidak diikutsertakan dari kampanye Earth Hour menggunakan media komersial tersebut. Memang pesannya akan langsung tertangkap, matikan lampu untuk mengurangi beban listrik supaya bumi bisa bernafas sejenak dari polutan-polutan yang ditimbulkan tenaga-tenaga penggerak listrik yang kita pakai sehari-hari. lalu, bagaimana setelah Earth Hour selesai? apakah orang-orang akan kembali memberi kesempatan pada bumi untuk bernafas 1 tahun lagi pada earth hour selanjutnya?

anyways, pembahas pada posting saya ini bukan untuk mengkritik kampanye earth hour, tapi dengan adanya kampanye ini saya jadi ingat dengan salah satu artikel yang dimuat majalah National Geographic edisi November 2008 yang membahas tentang polusi cahaya. Yep, polusi Cahaya.. tenyata memang ada banyak jenis polusi sodara-sodara, dan namanya juga polusi, pasti ada konsekuensinya..

di artikel yang ada di majalah National Geographic tersebut, disebutkan bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk diurnal. Yang maksudnya kita tidak nyaman untuk beraktivitas dalam kegelapan dan kita diciptakan dengan mata yang cenderung beradaptasi dengan cahaya matahari. Oleh sebab itu, manusia merekayasa malam dengan 'mengisi' cahaya ke dalamnya agar malam 'menerima' diri kita. Egois bukan? yea right. Dan perlu diingingat, di muka bumi ini bukan cuma manusia yang hidup. Masih ada makhluk-makhluk hidup lainnya yang memiliki sifat berbeda, bahkan berkebalikan dengan manusia, seperti makhluk nocturnal yang memang merasa nyaman untuk 'beraktivitas' pada malam hari.

Faktanya, pada masa sekarang penduduk bumi sangat padat, terutama pada kota-kota besar. Dan salah satu dampak yang ditimbulkan dari kepadatan tersebut adalah meningkatnya polusi cahaya yang ada di kota-kota besar. Here are some pictures that shows how Light pollution really ocurrs in big cities..


don't u think that was too much light? memang tanpa disadari kalo lampu-lampu yang kita nyalakan ternyata bisa menjadi sangat 'terang' ketika sama-sama kita nyalakan pada malam hari. Walaupun emang dalam konteks kota-kota di Indonesia menurut saya masih cukup 'toleransi' dengan polusi cahaya mengingat Indonesia merupakan negara berkembang yang tidak cukup 'glamor' dibanding dengan kota-kota besar di negara barat sana.

anyways, here are dampak yang ditimbulkan oleh polusi cahaya (courtesy of Wikipedia):

1. Dampak terhadap hewan

Polusi cahaya membuat bintang dan bulan tak tampak. Burung yang bermigrasi menggunakan bintang dan bulan sebagai alat navigasi. Akibat adanya polusi cahaya, mereka tidak dapat bermigrasi ke tempat yang tepat. Penyu laut juga tidak datang ke pantai dan bertelur seperti biasa karena takut dengan cahaya.

2. Dampak terhadap manusia

Polusi cahaya menyebabkan masalah tidur terhadap manusia. Cahaya yang berlebihan dari billboard mengganggu orang yang sedang tidur di apartemen. Ilmu pengetahuan juga mengalami dampak dari polusi cahaya. Astronom tidak dapat mengamati dan menemukan obyek di angkasa karena terlalu banyak cahaya yang menutupi langit malam.

so, that's why saya merasa kalo kampanye earth hour ini tidak hanya membantu bumi untuk bernapas dalam 60 menit, tetapi juga memberikan ruang gerak bagi makhluk-mahkluk nocturnal yang hidup di bumi. bagaimanapun juga, hewan-hewan tersebut juga makhluk hidup yang sama-sama hidup di bumi, dan saya rasa toleransi yang mereka berikan pada makhluk diurnal seperti kita tidak ada batasnya. I know, We're really sorry :(

Saturday, March 13, 2010

identitas (?)


Ketika kita berinteraksi di ruang publik, kita cenderung memaknai orang lain dari tampilan fisiknya: baju yang digunakan, mobil yang dikendarai, gadget yang dipakai, dan lain sebagainya. Pegukuran identitas seseorang dalam interaksi ruang publik sangat sempit, dimana hal ini justru melegitimasi eksistensi sekelompok orang dengan sumber daya melimpah (baca:orang kaya). Dalam interaksi instan, Jarang sekali seorang individu dimaknai berdasarkan pada kualitas yang ada dalam dirinya: seperti kejujuran, kepintaran, kecerdasan, dan lain sebagainya. Padahal nilai-nilai tersebut dapat terlihat dalam interaksi instan melalui gesture tubuh dan cara berbicara.

Identitas. Hal ini yang menurut gue menjadi sesuatu yang kabur dalam struktur masyarakat postmodern. Media massa punya andil besar dalam membentuk identitas orang jaman sekarang. Look at those lifestyle magazines yang belakangan beredar. Menurut gue majalah-majah itu sangat mendikte pembacanya untuk begini, begitu.. gimana cara berpakaian, gimana cara bersosialisasi, bahkan gimana cara pacaran. Mungkin awalnya para pembaca majalah bersikap kritis dan nggak langsung nerima begitu aja semua informasi dari majalah yang dibacanya. Tapi lama-lama ia berada dalam pengaruh juga. Kenapa? karena majalah merupakan bagian dari mass media. Mass means massal, luas. Artinya informasi yang serupa juga diserap oleh banyak orang lainnya. Doktrin-doktrin yang ada dalam majalah kemudian diaplikasikan dalam interaksi sosial, dan membentuk sekelompok individu dengan ciri yang sama. Dahsyat bukan?

Foto yang ada di posting ini gue ambil di sebuah acara clothing festival. Dan waktu gue ambil foto orang-orang yang ada di foto tersebut, gue menyaksikan langsung gimana orang-orang dengan identitas yang sama (baca: gaya berpakaian sama) cenderung berkumpul dalam kelompok yang sama. Dari sini gue jadi bertanya, apakah atribut-atribut yang ada sama mereka cukup untuk merepresentasikan diri mereka sebagai individu sebenarnya mereka?