pagi tadi baru saja saya menghadiri kuliah umum yang diselenggarakan atas kerjasama kampus saya dengan ACICIS dengan tema ' pluralisme agama di Indonesia'. Saya mau sharing sedikit dari materi yang saya dapet dari kuliah umum tadi, karena menurut saya pembahasannya lumayan menarik. *Sebenernya tumben-tumben nih saya datang ke event beginian, kalau bukan karena saya bosan luar biasa nggak ada kerjaan sambil menunggu feedback skripsi dari dosen saya :D
Anyways, pembicara dari kuliah umum tadi ada 2 orang. Prof. Vedi Hadiz dari Murdoch University, Perth, Australia dan Dr. A. Arif Mundayat yg merupakan kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM. Waktu pertama kali membaca temanya, saya sempat berpikiran bahwa isu-isu pergerakan kelompok radikal yang mengatasnamakan agama seperti FPI dan sejenisnya akan menjadi salah satu permasalahan yang dibahas dalam kuliah umum ini. Dan ternyata benar saja, isu tersebut menjadi highlight presentasi Prof. Vedi Hadiz.
Belakangan organisasi berbau radikal yang membawa nama agama, terutama FPI, memang menjadi sorotan publik. Tindakan anggota-anggotanya yang merusak dan menganggu kenyamanan publik menyulut kecaman dimana-mana. Awalnya, saya berpikiran kalau munculnya organisasi tersebut adalah sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Menurut saya, sistem demokrasi yang dianut di Indonesia ini sudah sedikit kebablasan. Buktinya setiap orang bebas untuk melakukan apa saja: kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya pemerintah juga yang repot. Karena adanya kebebasan berekpresi, maka muncul karya-karya seni yang dianggap porno. Pro-kontra pun muncul, baru kemudian dibuat UU Anti-Ponografi untuk menanggapi hal tersebut. Sama halnya dengan kekebasan pers, seringkali berita-berita yang disajikan sebuah media mengandung kontroversi entah karena investigasinya yang sangat mendalam, ataupun hanya karena covernya yang provokatif. Konsekuensinya, terdapat pihak-pihak tertentu yang tersinggung oleh pemberitaan-pemberitaan tersebut. Dan seterusnya. Sama halnya seperti FPI. Menurut saya, munculnya organisasi tersebut adalah sebagai konsekuensi dari adanya kebebasan sebagai konsekuensi dari demokrasi.
New Islamic Populism. Itulah konsep yang disampaikan Prof. Vedi Hadiz untuk merespon munculnya gerakan Islam garis keras di Indonesia selama ini. Beliau melihat fenomena tersebut melalui kolaborasi antara perspektif sosiologis historis dan ekonomis-politis. Dalam pandangan populisme, rakyat merupakan pihak yang tertindas karena adanya dominasi para elit. Dominasi macam apa? well, tentu kita semua tahu bahwa dominasi yang paling populer di Indonesia ada pada sektor politik dan ekonomi. Namun, dalam konteks ini, dominasi lebih spesifik diartikan sebagai gejala industrialisasi dan juga kapitalisme yang tumbuh subur di negara-negara berkembang dan membuat sebagian kalangan terjebak dalam kesulitan ekonomi. Kapitalisme dan industrialisasi telah menghasilkan masyarakat yang timpang, terutama di negara-negara berkembang. Kedua fenomena tersebut dinilai tidak berpihak pada (kalau bahasa Marx-nya) kaum proletar. Permasalahannya, di negara berkembang seperti Indonesia, masyarakat yang tergolong dalam kaum proletar tersebut jumlahnya lebih banyak dari kaum yang tergolong mampu atau kaya raya. Artinya, tidak semua kaum proletar dapat melakukan mobilitas sosial secara vertikal melalui industrialisasi. Dan mereka yang tidak mendapatkan kesempatan akan terus berada dalam kemiskinan.
Kemiskinan dan juga kepanikan moral inilah yang kemudian membuat mereka berpikiran sempit karena frustasi dengan keadaan. Kefrustrasian tersebut kemudian yang melatarbelakangi segelintir orang untuk bergabung dalam gerakan radikal. Melalui pergerakan tersebut, aspirasi dan juga kekecewaan mereka dapat tersalurkan, walaupun gerakan tersebut mengatasnamakan agama. Jadi, dalam konteks ini, ideologi agama yang fundamental bukanlah hal utama yang melatarbelakangi keputusan segelintir orang tersebut untuk bergabung dalam gerakan yang radikal.
Di sisi lain, analisa historis meyatakan bahwa populisme agama yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari pergerakan populisme agama yang ada pada masa lalu, terutama pada masa penjajahan. Melalui perpektif ini, kita dapat melihat bahwa ideologi agama melatarbelakangi segelintir orang untuk bergabung, atau bahkan membentuk kelompok radikal. Pada masa terdahulu, yaitu pada masa penjajahan pergerakan organisasi yang berasaskan agama memang telah berkembang sebagai bentuk reaksi atas kolonialisme, sebut saja Serikat Islam. Pergerakan di masa lalu tersebut lalu dilanjutkan oleh sekelompok orang di masa sekarang, dengan latar belakang kepentingan untuk membangun negara berdasarkan syariat Islam, yang dinilai dapat memberikan kesejahteraan bagi semua pihak. Kembali lagi pada masalah kesejahteraan. Hal ini secara tidak langsung juga mengindikasikan bahwa kesejahteraan merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan karena sistem yang ada tidak mendukung masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.
Intinya, kedua narasumber dari kuliah umum ini sepakat bahwa masalah kesejahteraan lah yang menjadi akar utama yang melatarbelakangi munculnya organisasi ataupun pergerakan radikal yang mengatasnamakan agama. Selama negara belum bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya, maka pergerakan-pergerakan ini akan terus ada dalam masyarakat.
Saya sangat setuju dengan solusi yang disampaikan oleh Dr. A. Arif Mudayat bahwasanya agama itu merupakan suatu hal yang bersifat pribadi dan individual, ketika agama dilembagakan, hanya akan menciptakan kesalahpahaman yang mengacu pada kekacauan. Benar juga, Tuhan kan Yang Maha Berkehendak, kalau mau merubah keadaan ya kita harus terus berdoa kepada-Nya dan berusaha, bukan melakukan razia keliling dan memukuli orang-orang. Kapan mau sejahteranya kalau begitu terus?