Tuesday, March 15, 2011

Social Media dan kesadaran kolektif

Internet atau dunia cyber merupakan salah satu media yang belakangan ini sangat efektif dalam penyebaran informasi di seluruh dunia. Melalui internet, informasi dapat diakses secara aktual dan faktual dalam waktu yang relatiff singkat sehingga subjek-subjek yang mengakses media ini dapat tetap stay alert terhadap perkembangan peristiwa atau kejadian tertentu yang menjadi perhatiannya. Masifnya kuantitas individu yang mengakses informasi pada saat yang bersamaan menumbuhkan pemahaman atau kesadaran kolektif. Selain sebagai media untuk mengakses informasi, internet juga merupakan media dimana individu bisa saling berinteraksi di dalamnya. Internet merupakan media yang membebaskan dimana internet bisa menjadi sumber individu atau kelompok bebas, di dalam sebuah dunia egalitarian yang di dalamnya individu tidak dirintangi oleh batas bangsa, kelas, gender, atau properti.1

Salah satu bentuk ruang interaksi yang belakangan menjadi sangat popular dalam dunia cyber. Situs social media yang menjadi sangat populer belakangan ini adalah Facebook dan Twitter. Melalui dua situs tersebut, para pengguna dapat berbagi bermacam-macam informasi, ide, gagasan, atau sekedar pelampiasan emosi terhadap kejadian yang sedang dilalui dalam keseharian mereka. Dalam konteks ini, Facebook dan Twitter menjadi media yang mempercepat arus informasi yang beredar di dalam dunia internet. Masifnya jumlah pengguna Twitter dan Facebook memungkinkan terabsorpsinya informasi yang sama oleh sejumlah besar orang di seluruh dunia. Tidak hanya mengakses informasi, belakangan social media juga berpotensi untuk melahirkan gerakan-gerakan people power. Social media menjadi wadah dimana kesadaran kolektif lahir dari individu-individu yang terlibat di dalamnya. Arus informasi atas current event yang menjadi perhatian banyak orang menjadi trigger dalam pembentukkan kesadaran kolektif (public awareness). Contoh yang paling aktual adalah kejadian gerakan revolusioner yang terjadi di timur tengah. Proses penyadaran atas kediktatoran pemimpin di negara-negara tersebut menyebar seperti virus dan pada akhirnya sekelompok orang turun langsung ke jalanan untuk melakukan demonstrasi terhadap pemerintah. Orang-orang tersebut tergabung dalam sebuah komunitas imajiner dimana mereka memiliki concern dan kepentingan yang sama dalam melawan pemerintahan yang tidak sehat. Selain sebagai trigger bagi munculnya gerakan people power.

Belakangan social media juga belakangan menjadi media yang efektif untuk melakukan kegiatan yang bersifat charity. Kesadaran kolektif atas current event yang terjadi, terutama peristiwa bencana yang berdampak pada krisis humanitarian menumbuhkan empati para pengguna social media melalui informasi yang mereka akses. Melalui social media, pengguna yang satu dengan pengguna yang lain dapat saling menyampaikan pesan atas keprihatinan mereka sehingga muncul kesadaran kolektif sehingga pada akhirnya tercipta sebuah gerakan yang bersifat charity. Masih banyak peran dan fungsi lainnya yang dimiliki oleh social media. Interaksi dalam komunitas imajiner di dalam media internet menjadi bukti bahwa pada era post-industrial, interaksi bersifat instan sebagai konsekuensi dominasi teknologi di kehidupan sehari-hari masyarakat. Dunia cyber memungkinkan terbentuknya nation state imajiner dimana dalam komunitas tersebut individu-individu yang terlibat di dalamnya merepresentasikan terbentuknya ruang publik yang muncul secara baru: terpisah dari kawasan politik dan pemerintahan yang ada, yang di dalamnya peninjauan demokratis dan kritis terhadap semua aspek dunia sosial dapat terjadi.2


1Thwaites, Tony; Llyod Davis & Warwick Mules. Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. 2009. Yogyakarta: Jalasutra

2Ibid

1 comment:

  1. jangan lupa, social cyber juga mengakibatkan hilangnya makna dalam komunikasi sebagaimana diutarakan George Mierson ;)

    1 jam, 3.000 kata = "komunikasi sampah"
    {rumus Mierson}
    -_^

    ReplyDelete