Lady Gaga. Pertama kali mendengar nama ini saya langsung megasosiasikannya dengan bizarreness. Saya pribadi bukan penggemar dari penyanyi fenomenal ini, namun sosoknya sangat menarik untuk dikaji. Lady Gaga identik dengan penampilannya yang nyentrik, lirik lagu poweful, dan videoklip yang vulgar dan provokatif.. overall, she's not your average idol.
Lahir pada tahun 1986 dengan nama Stefani Joanne Angelina Germanotta, yang merupakan keturunan Amerika-Italia. Sebagai keturunan Italia, Lady Gaga besar di lingkungan Katolik Roma yang cukup kuat. Lady Gaga berasal dari sebuah keluarga dengan kelas sosial menengah ke bawah yang hidup di kota New York, AS. Sejak kecil Lady Gaga sudah mahir bermain piano dan juga menyanyi, hingga pada usia 19 tahun ia mendapatkan kontrak pertamanya sebagai penyanyi. Lady Gaga mentrasformasi secara total dirinya dan menjadi booming setelah album pertamanya, The Fame dirilis pada tahun 2008. Sejak itu, kemunculan Lady Gaga selalu menarik perhatian media, tidak lain tidak bukan karena presentasi dan sekaligus identitasnya yang nyentrik.
Lady Gaga dan Seksualitas
Kemunculan Lady Gaga telah mengubah identitas dari musik pop kontemporer melalui karakter yang direpresentasikannya. Terlepas dari faktor branding yang memang sengaja dirancang untuk mendongkrak popularitasnya, Lady Gaga sendiri merupakan sebuah fenomena yang memberikan atmosfer baru pada tren musik pop. Ada banyak konsep yang dapat digunakan untuk mendekonstruksi teks dari seorang Lady Gaga, mulai dari high fashion, perlawanan (subversi), hiperrealitas, dan seksualitas. Lady Gaga merepresentasikan seksualitas melalui penampilannya yang vulgar, dimana hal ini bisa diidentifikasikan dengan jelas dalam videoklip-videoklipnya. Seksualitas cenderung direpresentasikan dengan penampilan vulgar. Hal ini bukanlah hal yang baru dalam industri musik pop, dimana fenomena ini dilegitimasi oleh eksistensi Madonna pada masa sebelumnya. Lady Gaga dan Madonna adalah dua sosok yang dominan dalam mengekspresikan seksualitas perempuan secara frontal ke dalam musik pop. Representasi seksualitas oleh salah satu pandangan dalam kajian posfeminis dinilai sebagai bentuk subversi perempuan dalam melawan budaya patriarkal. Kaplan (1993) berusaha untuk menjawab hal ini dengan konsep topeng, dimana menurutnya bahwa tidak ada diri yang essensial melainkan sebagai hasil dari konstruksi budaya. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa topeng (seksualitas) berfungsi sebagai permainan dengan sistem tanda gender yang ada sehingga menurutnya Madonna (dan Lady Gaga) sadar diri dengan menggunakan topeng tersebut untuk mereproduksi cara-cara dan fantasi-fantasi patriarkal -topeng (seksualitas) sebagai muslihat1. Dari penjelasanya tersebut, dapat dikatakan bahwa seksualitas merupakan kekuatan yang digunakan oleh Lady Gaga untuk melegitimasi citra dirinya sebagai perempuan yang kuat dan otonom, seperti yang dapat diinterpretasikan melalui videoklip berikut:
Pengorbanan Lady Gaga untuk eksistensinya dalam musik pop dan bisa dibilang cukup signifikan. Dalam banyak wawancara dengan media di AS Lady Gaga seringkali menyatakan secara eksplisit bahwa pop music is her religion. Seorang Stefani Germanotta yang berpenampilan seperti wanita pada umumnya bertransformasi total menjadi seorang Lady Gaga yang fenomenal dengan identitas yang berbeda sama sekali. Dalam transformasinya, Lady Gaga hadir secara konsisten dengan penampilan yang tidak biasa, dimana ia melabeli dirinya sebagai pengikut fashion avant garde. Transformasi identitas Lady Gaga tentu bukan tanpa tujuan, keunikan dari penampilannya justru sesuatu yang 'menjual' dari dirinya untuk tetap eksis dalam industri musik pop. Pencitraan yang diusungnya merupakan gabungan antara sci-fi, glam, horror, high fashion and pop art, sebuah perpaduan yang menghasilkan sebuah hiperrealitas atas representasi dirinya. Menurut Baudrillard (1983), hiperrealitas diproduksi menurut suatu model. Dia tidak diperoleh, melainkan direproduksi sebagai sesuatu yang nyata sehingga 'hiper' berarti 'lebih nyata daripada yang nyata'2. Penampilan Lady Gaga memang mengaburkan antara yang nyata dan yang artifisial. Secara keseluruhan, kita melihat bahwa Lady Gaga beserta identitasnya yang artifisial sebagai sesuatu yang nyata karena masifnya pengaruh yang dihasilkan dari pencitraannya tersebut. Fenomena Lady Gaga menjadi rasional karena melalui musiknya ia berkampanye tentang otonomi diri dan pentingnya menjadi diri sendiri, dimana hal tersebut memberikan influence bagi orang-orang yang merasa insecure dengan dirinya sendiri, seperti yang disampaikannya melalui potongan lirik dari hits terbarunya berikut:
I’m beautiful in my way
‘Cause God makes no mistakes
I’m on the right track, baby
I was born this way
1Brooks, Ann. Posfeminisme dan Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. 2009. Yogyakarta: Jalasutra
2Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik. 2008.Yogyakarta: Kreasi Wacana
referensi:
- http://en.wikipedia.org/wiki/Lady_gaga
- http://theotherjournal.com/mediation/2011/05/15/lady-gaga-monstrous-love-and-cultural-baptism/
- http://kultuit.tumblr.com/post/1215741157/hiperrealiti-fesyen-iklan-pencitraan-oleh